Sepucuk Surat (CK) Chapter 1-?

Sepucuk Surat (CK)


Chapter 1

Apa ini, sebuah surat?

       Kegiatan hari ini tidak ada yang berbeda, mengecek ulang jadwal pelajaran. Begitu juga dengan teman sebangku, dia bisa dibilang cukup cekatan. Sambil menunggu bel masuk aku mempelajari materi pelajaran yang sebelumnya.

    “Siti, kamu pernah dapet surat ga?” celetuk Dini, teman sebangkuku.

      “Ngga pernah kalo aku, kenapa emangnya?” balasku.

      “Gapapa sih, cuman kepikiran aja gimana kalo aku dapet surat gitu, kan. Biar kayak didrama gitu, so sweet,” imbuhnya menjelaskan.

       Aku hanya bisa menggelengkan kepala karena perilakunya ini. Lalu, kami melanjutkan pelajaran seperti biasa. Bahkan, tanpa sadar sekarang sudah jam istirahat siang.

       Dini mengajakku ke kelas sebelah, tepatnya kelas sembilan A. Sementara kami berada di kelas sembilan B, dia masuk ke kelas itu seorang diri untuk menemui temannya. Tak berselang lama ia pun keluar dan kamu menuju kantin.

      “Siapa temenmu, tadi?” Tanyaku memulai percakapan.

      “Namanya Danish, dia temen aku pas mpls dulu, lho,” jawabnya sambil tersenyum.

      “Orangnya baik, dia terampil juga, g heran deh di kelas dia jadi ketua kelasnya.” Ia menjelaskan.

      “Oh ... pantes kayaknya kamu akrab sama dia,” balasku.

        Di kantin kami mengobrol mengenai pria itu. Dini juga sepertinya mulai demam surat karena ia sangat ingin membuat surat untuk orang yang ia kagumi. Aku pikir dia punya banyak hal yang membuatnya bisa lebih santai menjalani hidup.

        Waktu pun berlalu tanpa terasa, sekarang sudah sore saja, ya. Kami mulai membereskan meja masing-masing untuk bersiap pulang. Setelah pelajaran selesai anak–anak  langsung berhamburan keluar kelas, tidak denganku.

         Aku harus kumpul sebentar dengan ekskul jurnalistikku. Sudah cukup lama juga, ya semenjak mengikuti lomba menulis artikel itu ekskul ini baru memulai kumpul kembali. Rasa penasaran akan apa yang akan dibahas saat kumpul semakin muncul.

           Ah ... aula belakang memang dingin. Kami berkumpul di sini dan membahas tentang rencana artikel dan karya untuk majalah dinding bulan depan. Salah satu hal yang bisa ku banggakan adalah sekolah ini cukup bagus hingga bisa punya ekstra kurikuler seperti jurnalistik ini.

         Sekarang pukul empat sore, aku mengecek kembali tas apa ada yang tertinggal atau tidak. Ah, di saat seperti ini malah buku matematika yang ketinggalan. Untung saja aku cek kembali tas ini, terpaksa harus melangkahkan kaki ini kembali ke kelas. 

           Kelas ini sepi, ya wajar saja karena tak ada orang selain aku di kelas. Buru-buru aku mengecek kolong mejaku dan melihat sesuatu selain buku. Seperti kertas yang dilipat-lipat lalu aku mengambil kertas itu.

         Apa ini ... surat? Aku membuka kertas itu dan ternyata ada tulisan, dan mulai membaca surat tersebut.

      “ Hai, Siti. Kayaknya ini cara yang aneh ya buat temenan sama orang, tapi aku g punya keberanian besar untuk kenalan sama kamu jadi aku pake surat kayak gini. Sebenarnya aku udah lama kenal kamu, cuman mungkin aku yang g berani deketin kamu buat ajak kenalan atau temenan, ah intinya aku pengen kenalan sama kamu kok. Tapi aku g bisa bilang nama asliku siapa, soalnya aku malu sih, kalau kamu mau bales surat ini tinggal taruh aja surat kamu di meja guru kamu aja. Kalau kamu ngerasa risih atau ngga suka sama surat ini aku minta maaf, sebelumnya makasih ya kalau udah mau baca surat ini, hehe.”

       Aku jadi bingung, disatu sisi aku belum pernah dapat surat semacam ini, tapi disatu sisi aku pun tidak merasa risih dengan surat ini. Entah mengapa rasanya malah seperti mempunyai penggemar sendiri. Aku yang awalnya ingin langsung pulang malah mengeluarkan pulpen dan secarik kertas untuk membalas suratnya.

        Satu kata yang bisa aku utarakan saat ini, bingung. Padahal hanya menulis surat balasan tapi rasanya agak bimbang. Namun, membaca surat ini sepertinya dia berharap agar aku membalasnya.

          Itulah hal-hal yang aku tulis dibuku catatan harianku malam ini. Rasanya seperti bertukar surat dengan fans rahasia. Sekarang, aku tinggal tidur dan menunggu balasannya esok hari.


Chapter 2

Balasan dan rasa

          Rasanya pagi ini aku sangat senang. Karena saat mengecek kolong mejaku ada sebuah surat lagi. Buru-buru aku buka surat itu dan membacanya sambil menunduk.

          Apalagi tempat dudukku berada di belakang aku lebih leluasa membacanya. Ada kepuasan tersendiri saat tahu bahwa dia membalas suratku, benar-benar perasaan yang menyenangkan. 

       “Makasih, ya udah bales suratku sebelumnya. Jujur aku ga nyangka bakalan kamu bales karena aku pikir ini cara yang bisa dibilang agak lebay dan kekanak-kanakan, tapi aku bingung harus gimana lagi. Oh ya turut senang kalau kamu seneng bisa saling bertukar surat kayak gini. Kamu mau kayak gini lagi? -41.”

       Isi surat itu cukup untuk membuatku tersenyum, sembari berpikir mengapa ada angka empat dan satu di ujung surat itu. Namun, belum sempat memikirkan tentang angka itu bel kelas sudah berbunyi. Ah, sudahlah fokus pada pelajaran Siti, fokus.

         Pada akhirnya aku tak bisa fokus sama sekali. Aku terus memikirkan apa yang harus aku tulis disurat berikutnya. Setidaknya, sampai ada yang menepuk bahuku.

      “Malah ngelamun kamu, lagi mikirin apa, sih?” celetuk Dini.

       “Ah, bukan apa-apa, kok. Cuman kepikiran pelajaran yang tadi aja,” balasku mengalihkan pembicaraan.

         “Yeh, Sit mau nanya dong, itu di kolong meja kamu kertas apa tuh?” Dini menyadari ada surat di kolong mejaku.

          “Kalo kertas itu sih c-cuman kertas biasa kok. Iya kertas biasa doang kok hehe,” jawabku agak gugup.

            Dini kembali fokus pada kegiatannya menyelesaikan tugas seni budaya. Untung saja aku sudah beres mengerjakan tugasku. Sementara ia sibuk mengerjakan tugas, aku keluar kelas untuk ke perpustakaan meminjam buku materi.

             Baru saja aku sampai di depan pintu perpustakaan, saat akan mengetuk pintu itu terbuka sendiri dan memperlihatkan Danish, teman Dini. Aku sedikit kaget karena melihatnya. Jujur, aku jarang melihat anak laki-laki keluar dari perpustakaan selain membawa buku paket pelajaran, karena ia membawa sebuah novel.

       “Kamu ... temannya Dini, ya?” tanyanya 

         “Iya, salam kenal. Namaku Siti,” jawabku.

        “Sudah tahu,” ucapnya.

       Seketika ia pergi sambil memalingkan wajahnya. Aneh, mungkin temanku satu itu sering menceritakan tentangku padanya. Namun, mengapa wajahnya sedikit memerah? Kenapa rasa penasaranku selalu menggebu-gebu, sih. Aku melupakan hal tadi dan masuk ke perpustakaan.

           Seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan aa yang harus aku tulis disuratku selanjutnya. Ini terasa sangat menyenangkan, karena walau aku tidak tahu siapa pengirim surat ini tapi rasanya aku seperti mengobrol dengan teman pena. Wah, syukurlah setelah siksaan materi pelajaran yang sangat banyak ini akhirnya waktu pulang tiba.

             Aku masih duduk sendiri di ruang kelas setelah semua murid pulang, lalu mulai menulis surat yang berisi perasaan senang karena ini pengalaman pertamaku. Kemudian, saat aku hendak meletakkan suratku di meja guru seperti sebelumnya aku melihat Danish seperti sedang mengintip. 

     Aku segera menghampiri nya karena penasaran. “Kamu mau cari siapa?” tanyaku sambil menyembunyikan surat.

        “Eh A-aku cuman nyari si Dini, kok,” jawabnya sedikit gugup.

        “Dini? Tadi dia udah pulang, coba kamu cari di depan, dia sering jajan dulu biasanya,” ucapku menjelaskan.

         “I-iya, kalo gitu aku ke sana dulu, ya. Dadah ....” Dia bergegas pergi.

         Ada apa dengannya? Apa aku ada salah padanya? Rasa penasaran ini muncul lagi, deh. Belum lagi inisial di ujung surat itu, angka-nya merujuk apa, ya? Ah, lebih baik kutaruh surat ini di meja guru. Semoga tidak ada yang melihat, aku langsung membereskan peralatan menulisku dan langsung pulang.


Chapter 3

Terkuak?

           Setelah kejadian hari itu, kami masih berbalas surat seperti biasanya. Hanya saja, tempat aku menaruh surat itu berubah, yang asalnya di meja guru menjadi di kursi depan kelasku. Ia juga meminta agar surat itu ditimpa sebuah batu agar tidak ada yang tahu kami berbalas surat.

           Tidak hanya itu, perilaku Danish, teman Dini itu juga cukup mencurigakan. Ia seperti sering mencuri-curi pandang untuk melihatku, tetapi jika aku berbalik ia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Kebiasaanku yang terlalu memikirkan banyak hal memang agak buruk, ya.

           Inisial empat dan satu itu juga belum terpecahkan. Apa itu berhubungan dengan nomor absen? Atau ruangan kelas? Ah rasanya aku jadi frustasi sendiri. Sementara Dini sudah tahu kalau aku sering bertukar surat dengan seseorang, padahal aku belum pernah memberi tahunya tentang ini.

           Tidak bisa begini, fokus Siti fokus, pelajaran tidak akan selesai dengan sendirinya. Selain pengirim surat misterius itu yang setiap isi suratnya membuatku sedikit berdebar, pelajaran matematika juga membuatku berdebar-debar karena KKM nya yang membuat pusing. Huh, hidup benar-benar penuh cobaan.

           Aku ingat dengan balasan suratnya yang berisikan kalau aku adalah orang yang manis, dan dia menyukai itu. Hal itu terngiang-ngiang di kepala ini terus-menerus. Kenapa rasanya jantung ini akan meledak, ya? Sudahlah aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu saja.

        “Siti, gimana surat-suratannya? Lancar?” Perempuan di sebelahku ini sangat penasaran tentang hal itu.

          “Lancar aja, kok. Kenapa nanya gitu?” Jawabku sembari bertanya balik.

          “Ga tahu, kepikiran aja kamu punya momen so sweet kayak di cerita-cerita gitu, lo. Kapan lagi kan kamu surat-suratan kayak gini sampe deg degan, bener, ‘kan?” Balasnya, ugh bukan bohong juga sih soal itu.

         “Jangan aneh-aneh, deh. Mending fokus sana nulis materimu yang ketinggalan tuh.” Aku mengalihkan pembicaraan.

           Angka empat dan satu, sejauh ini aku lebih yakin kalau itu berhubungan dengan nomor absen. Namun, aku tidak begitu yakin juga tentang angka itu. Ayo, pikirkan kemungkinan lain, bisa saja dua angka itu berhubungan dengan huruf yang berhubungan dengan nama pengirim.

        Ah, aku jadi teringat sesuatu, rasanya. Jangan-jangan angka ini berhubungan dengan posisi huruf seperti huruf pertama yaitu A, huruf ke dua B, ke tiga C dan seterusnya. Berarti kalau begitu jika aku lihat angkanya, berarti angka empat untuk D dan satu untuk A. D dan A, Da? Aku sedikit bingung di sini, lebih baik kutanyakan padanya.

          Rasanya aku ingin mengintip saat pulang nanti agar tahu siapa pengirim misterius ini. Lalu, aku bisa mengejutkannya dan menanyakan apa motivasinya memakai surat untuk berkomunikasi. Kemudian, setelah semua kejelasan itu aku mulai berhubungan lagi dengannya.

          Waktu pulang sekolah menjadi lebih cepat, sekitar jam satu siang karena para guru ada agenda rapat. Aku segera menulis surat yang berisikan apa namanya berawalan huruf DA dan bercerita mengenai apa yang terjadi hari ini. Mulai dari aku yang berhasil melewati tugas praktek bahasa Indonesia dengan baik juga temanku yang berhasil tidak cerewet soal ketertarikannya pada artis luar negeri serta surat-surat itu.

          Aku segara meletakkannya di kursi depan kelas. Lalu segara bersembunyi di dalam kelasku, mengambil celah agar bisa melihat siapa yang mengambil. Satu jam, dua jam berlalu, bahkan sekarang hampir jam setengah empat sore. Namun, tak ada siapa pun yang mengambil surat itu.

            Aneh, apa dia sibuk? Atau sedang ada kegiatan? Kalau seperti ini terus lebih baik aku pulang dan menunggu seperti biasa. Rasanya aku seperti menunggu yang tidak pasti saja. Hah ... padahal aku penasaran sekali apa tebakanku benar atau salah.


Chapter 4

Akhirnya, benar.

          Sudah tiga hari ia tak membalas suratku, bahkan surat yang kuletakkan di kursi depan kelas pun terpaksa aku ambil kembali. Kenapa ia begitu, ya? Apa dia berpikir kalau aku sudah menebak namanya. Padahal belum sama sekali, awalnya kupikir ini akan berlangsung lama ternyata malah tidak.

               Tak terasa waktu sudah berlalu. Bahkan, sekarang pun sudah hampir waktunya kelulusan. Aku masih menunggu dengan sabar sembari menulis surat yang masih ku letakkan di tempat itu. Terkadang aku mengambilnya lebih cepat karena tahu tidak akan dibalas.

          Rasanya cukup memuakkan, padahal aku ingin sekali kembali ke aktivitas itu. Namun, untuk hal ini lebih baik pasrah saja, ya? Ya sudahlah mau bagaimana lagi. Pada akhirnya surat surat itu aku simpan sendiri di rumah.

          Sekarang aku sudah kelas dua SMA, waktu ternyata cukup lama, ya. Kecuali kenangan saat aku kelas sembilan itu masih belum hilang. Entah karena senang atau karena apa rasanya seperti terus terpikirkan olehku, dan terkadang ada surat-surat sebelumnya yang sengaja dibawa sebagai kenang-kenangan.

          Aku berjalan menuju perpustakaan, setidaknya sampai aku hampir menabrak pria yang membuka pintu perpustakaan. Ah, wajah ini terasa familiar bagiku. Orang ini, tidak salah lagi, Danish.

       “Ini kamu, Danish?” tanyaku.

       “Eh, ini Siti, ‘kan? Temannya Dini?” Balasnya.

        “Iya.” Aku masuk ke perpustakaan.

       “Ini, surat?” Ia mengambil suratku uang tidak sengaja jatuh.

      Aku buru-buru mengambil surat itu. “I-iya,” jawabku.

        “Pengirim suratnya punya insial empat satu, ‘kan?”

      Darimana dia tahu tentang itu? Padahal ini surat yang pertama kali dan tidak ada inisial empat satu disurat pertama ini.

       “Jangan-jangan, kamu si empat satu itu?” tanyaku kebingungan.

      Ia hanya tersenyum, tetapi aku tahu maksudnya. Wajahku menjadi sedikit memerah sementara ia pergi dari perpustakaan. Ah, akhirnya aku menemukanmu, sahabat penaku yang membuat hati ini berdebar-debar.


By : Andri

Facebook : Andri Wahyu

Dukung sang Author untuk membuat karya-karya terbaru...


Publish : Fabyo

@byocog


Tambahan : Jika ada perubahan tentang char diatas, segera konfirmasi langsung ke COG COMMUNITY

Link COG COMMUNITY :

https://linktr.ee/byocog

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama