Psycho And Innocent Girl (CK) Chapter 1-?

Psycho And Innocent Girl (CK)


Chapter 1

Pembulian itu terjadi padaku. Di pukuli, di hina, dan bahkan di ludah seperti sampah yang tidak berguna. Pertanyaannya adalah…, apa yang orang lakukan saat mendapati dirinya di bully?

Melawan? Aku bisa melawan, membereskan masalah itu dalam sekejap, tapi buat apa? Hanya akan memperbanyak masalah dalm hidupku. Aku mengkhawatirkan mereka, murid-murid yang membuliku.

Pasrah? Tidak pasrah-pasrah banget. Dalam beberapa kesempatan, saat anak-anak itu memukulku, membuatku jatuh tersungkur, aku mengumpat dalam hati dengan wajah yang datar. Itu mungkin bisa di bilang sebuah perlawanan bukan?

Mengadu? Adakah tempat untuk mengadu untuk seorang anak yang tidak mengenal “Tempat pulang” atau “Tempat yang dipanggil rumah”? kurasa tidak.

Guru BK? Hanya seorang manusia yang tertarik pada rambutmu. Jika rambutmu Panjang, menurut pandangannya seakan-akan itu adalah dosa besar. Atas dosa itu, dirimu harus menebusnya dengan sebuah potongan yang membuatmu seakan-akan di dipermalukan seumur hidup. Itu adalah ungkapan untuk murid laki-laki yang merasa rambut mereka adalah mahkota. Kebanyakan dari mereka adalah murid yang menyukai cinta.

Namaku Niki, seorang remaja laki-laki berusia 15 tahun. Kelas X IPA-2 di sebuah sekolah elite dan bergengsi di ibu kota. Sekolah yang memiliki fasilitas terbaik dan juga murid-murid terbaik. Tapi siapa sangka aku bisa menemukan sosok pembuli di sekolah ini. Maksudku…, ayolah, apa yang difikirkan oleh masyarakat atau calon-calon orang tua siswa yang ingin mendaftarkan anaknya ke sekolah ini? Fasilitas sekolah yang bagus, guru-guru yang berdedikasi, ataupun siswa-siswi berprestasi.

Naas sekali, padahal niatku masuk kesekolah ini adalah kehidupan tenang dan damai. Tapi sepertinya memang banyak orang yang tidak bisa menerima sebuah karunia yang aku miliki. Contohnya seperti para pembuli itu. Mereka adalah orang kaya, mudah untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan. Tapi 3 hal yang mungkin sangat sulit mereka dapatkan, hal-hal yang aku miliki.

Rupa, kecerdasan dan ke-eleganan.

Dan aku sudah lama menyadari, itu adalah sidat alami manusia. Mereka yang tidak pernah puas dengan apa yang mereka sudah dapatkan. Tidak pernah bertekuk syukur. Mereka hanya menjerumuskan diri pada kebahagiaan yang semu.

Berbicara tentang kebahagiaan?

Tau apa diriku tentang kebahagiaan?

Apakah diriku pernah Bahagia?

Entahlah, aku tidak tahu.

Tapi rasa sedih? Tidak terlalu.

Aku tidak sedih di buli.

Aku tidak sedih tidak memiliki “tempat pulang”.

Tapi yang aku sadari, diriku adalah seorang pemberontak.

***


Rooftop sekolah, di pagi hari yang cerah. Pukul 09:30, waktu para murid-murid untuk istirahat. Rooftop Gedung utama sekolah  adalah tempat yang tidak boleh di masuki oleh sembarang orang. Hanya guru dan beberapa murid dengan status osis yang boleh memasukinya (itupun dengan izin yang sangat sulit).

Tubuhku menahan rasa sakit setelah menerima bogem mentah dari salah satu anak yang membuliku. Kakiku seakan tidak bisa menahan daya dorong yang di terima oleh pipi kananku. Jatuh tersungkur sambil memberikan ekspresi rasa sakit yang memuaskan bagi mereka.

“Bangun bajingan,” Bentak anak yang memukulku, “Siapa yang menyuruhmu terlambat? Hah?”

“Dia benar-benar bajingan, berani sekali dia terlambat,” Sahut anak yang di sebelahnya.

“Boleh aku ikut memukulnya?” Satu anak lagi menawarkan diri untuk memukulku.

Anak yang pertama kali memukulku langsung menarik kerah bajuku dengan kuat sehingga aku tersentak tertarik dan berdiri seakan tidak berdaya. Sejalan dengan menatap wajahku yang datar, dirinya bertambah kesal sambal Kembali membentak dan meneriakiku.

“Kau mendengarku hah?” Bentaknya, “Berikan aku satu alasan untuk tidak membuat tanganmu panah kali ini, niki!”

Dua anak buah dibelakangnya hanya tersenyum dengan apa yang mereka lihat saat ini. Tentu saja, melihat diriku dipukul adalah sebuah hiburan tiada duanya. 

“Wali kelas memanggilku saat pelajaran sebelum istirahat tadi, makanya aku terlambat,” kataku dengan wajah datar.

Apa yang membuat anak ini geram kepadaku adalah karena aku terlambat membelikan makanan di kantin, yang mana kegiatan ini sudah aku lakukan untuk mereka sejak masuk sekolah ini pertama kali. Seperti hal nya di zaman dahulu, orang-orang seperti ini menganggap diri mereka adalah bangsawan. Manusia yang mulia, kaya dan penuh dengan kehormatan. Mata mereka menganggap rendah para rakyat jelata. Apalagi rakyat jelata yang memiliki potensi. Rupa, kecerdasan dan ke-eleganan.

*Buk!!!*

Aku mendapatkan bogem mentah di pipiku sekali lagi. Dan untuk kedua kalinya, kakiku tidak mampu menahan daya dorong yang di terima sehingga aku jatuh tersungkur. Seakan-akan merasakan sakit, memberikan kepuasan kepada tiga orang itu.

*Duk!!!*

Kali ini tidak hanya bogem mentah. Sebuah tendangan mengenai perutku telak. Aku langsung terbatuk-batuk. Jujur, ini benar-benar menyakitkan. Kali ini wajahku benar-benar menunjukkan sedikit rasa sakit..., bukan sedikit sebanarnya, memang sangat sakit. 

“Uhuk..., huk, uhuk, uhuk,” Aku terbatuk-batuk, dan merasa sulit untuk bernafas.

“Awas besok kau terlambat lagi bajingan,” Kata si murid yang memukul dan menendangku. Dia berjalan melangkahiku sambil menoleh ke belakang, “Kalian akan diam disitu seperti orang bodoh atau ikut aku ke kantin? Jangan sampai kalian merusak mood ku lagi. Mood ku sudah rusak karena bajingan ini.”

“Oke, oke, bos. Kami ikut, tidak perlu marah seperti itu,” Kata salah satu dari anak buahnnya.

Dua orang lagi melangkahi tubuhku yang sedang menahan rasa sakit. Mereka tertawa sambil meninggalkan rooftop. Sementara diriku sedang terbaring sembari rasa sakit itu perlahan pergi. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku bersender di samping pintu rooftop, membiarkan sinar matahari pagi menerpa wajahku. Hangat tapi entah kenapa ketenangan setelah di tinggal 3 orang pembuli tadi membuatku senang.

“Ku harap itu bukan mereka,” Fikirku ketika aku melihat knop pintu bergerak. Ketika diriku melihat seseorang yang membuka pintu, nafas lega menyertaiku.

“Kamu tidak apa-apa?” Seorang gadis cantik menatapku, juga dengan tatapan datar.

“Yeah,” Jawabku singkat.

“Seharusnya kamu melaporkan mereka ke pihak sekolah,” Katanya.

“Itu katamu yang ke 89 kali,” Aku menatapnya lemah karena mengantuk, “Lagi pula ini bukan urusanmu.”

Gadis itu menutup pintu lalu ikut duduk di sampingku. 

“Ayahku bisa membereskan mereka,” Dia menyeka pipiku yang masih kotor karena pasir, “Apa yang ingin kamu lakukan terhadap mereka?”

“Aku ingin membunuhnya.” Kataku tanpa ragu, “Itu kata-kata yang ingin kau dengar?”

Gadis itu mengangguk.

“Sebelum itu, aku ingin tau tujuanmu.”

“Tujuan?”

“Yeah, apa tujuanmu mau membantuku? Maaf saja, membantuku tidak membuat mu untuk sama sekali. Tidak ada alasan untuk membantuku. Kecuali kau jatuh cinta padaku.” Dengan percaya diri aku mengatakan itu, pada gadis tercantik di sekolah ini.

Gadis itu terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu, “Bagiku kamu ini orang yang sangat menarik.”

“Haha lucu sekali,” Kataku dengan tertawa yang di buat-buat.

Gadis itu juga tertawa kecil, tertawa sungguhan. Aku menatap langit-langit dan tertidur karena mengantuk. Tanpa aku sadari, aku meletakkan kepalaku pada pangkuan gadis itu.

“Alia, kau itu benar-benar kurang kerjaan,” Kata-kata itu meluncur bersama arus alam bawah sadar yang membawaku ke mimpi dan membuatku benar-benar tertidur.

***

Seorang gadis sedang mengikuti sebuah pelajaran di kelas. Memperhatikan seorang ibu guru berkacamata yang tampak cantik namun sebenarnya dia adalah guru yang garang jika mendengar keributan saat dia menjelaskan materi. Kelas hening, tentu saja tidak ada yang berani bersuara. Walau galak, ibu guru yang dikenal murid-murid nya dengan nama Linda, dia adalah seseorang yang penyampaian materinya sangat jelas dan mudah di mengerti. Dalam penyampaian materi matematika, bisa dibilang dia adalah guru terbaik di bidang tersebut.

Mata gadis itu sesekali menatap ke arah lain. Seorang anak laki-laki yang memendam wajahnya di atas meja. Tertidur..., mungkin. Dalam hal  ini, gadis itu sudah memperhatikannya sejak masuk sekolah ini. Sangat mencurigakan dan sangat menarik perhatiannya. 

“Alia, silakan untuk mengerjakan soal di depan,” Bu Linda tiba-tiba memanggil gadis itu yang sedang menatap ke arah lain. Alia sedikit menggerutu. Dia lupa Bu Linda adalah seseorang suka menyuruh anak didiknya untuk mengerjakan soal di depan. Melatih mental kata Bu Linda.

“Tapi bukankah anak itu tidur? Seharusnya dialah yang maju,” Ucap Alia dalam hati.

Tapi Alia seharusnya memaklumi. Anak laki-laki itu adalah monster, dalam akademik. Sesulit apapun soalnya, walau dia tidak memperhatikan materi, dia mampu menjawab semua soal yang di berikan Bu Linda. Padahal Alia merasa kalau dia adalah orang yang rajin belajar dan cerdas, tapi di bandingkan anak laki-laki itu, Alia merasa seperti butiran debu.

Alia maju kedepan dengan langkah santai dan tegap, bisa di bilang Alia adalah gadis tercantik di kelas itu. Bahkan di sekolah itu. Rambut panjang dengan warna hitam legam, kulit putih hampir menyamai susu, bulu mata lentik dengan tinggi badan rata-rata gadis lainnya. Dia adalah sosok gadis sempurna yang di idam-idamkan laki-laki.

Tadi Alia sempat memperhatikan materi sebelum akhirnya dia mengalihkan pandangannya kepada anak laki-laki itu. Dia bisa mengerjakan soal itu dengan mudah. Bu Linda tersenyum, mengangguk pada Alia dan mempersilakan Alia untuk duduk kembali. Anak-anak yang lain bertepuk tangan, karena materi itu baru di jelaskan sekali dan Alia mampu mengerjakannya.

Alia menghela nafas lega, untung saja dia sempat memperhatikannya. Di tambah dia sudah mempelajari materi ini di rumah.

Saat Bu Linda ingin kembali menjelaskan, sudut matanya menangkap seorang siswa yang sedang membenamkan wajahnya. Dia berjalan perlahan membawa spidol. Alia sendiri menyadari hal itu dan dia memasang wajah panik. Gadis itu ingin membangunkannya tapi apalah daya meja mereka berjarak 3 meja. Dalam hal ini, dirinya tidak tahu apa yang membuat dadanya merasa dag-dig-dug. 

Bukan, dag-dig-dug ini bukan tanda cinta. Melainkan rasa panik, takut dan cemas. Bu Linda sudah di samping meja anak laki-laki itu lalu menatapnya dengan tatapan yang menusuk. Yang di tatap sedang asik tertidur sambil sedikit mendengkur, Alia merasa seharusnya anak tersebut sudah bangun, hawa kehadiran Bu Linda yang kuat seharusnya bisa membangunkan anak itu.

Anak itu masih tertidur sampai cubitan kuku Bu Linda menarik telinga anak laki-laki itu. Alia menelan ludah dan memastikan apa yang di lihat tidaklah salah..., kuku, ya, itu adalah kuku. Itu bukan sebuah lah jeweran. 

“Ahh, ah, sakit..., sakit...,” Anak laki-laki itu merintih kesakitan.

“Memang sakit, seharusnya kamu tahu konsekuensi tidur di pelajaran ibu. Kamu mengerti Niki?” Bu Linda tersenyum, tampaknya terlihat puas setelah menghukum dengan sebuah cubitan di telinga.

“Ba-baik bu..., tolong lepaskan,” Mohon Niki. Wajahnya meringis kesakitan.

Bu Linda memang melepaskan cubitannya, tapi dia juga menyeret Niki kedepan. Alia menghela nafas, bertanya-tanya bagaimana seorang murid bernama Niki tampaknya benar-benar santai di hadapan seorang Bu Linda yang memiliki tekanan kuat. Lihatlah wajanya, tampak orang yang benar-benar menikmati tidurnya tadi, dan sempat-sempatnya dia menguap.

“Sekarang jelaskan materi yang ibu sampaikan ini,” Kata Bu Linda sembari memberikan spidol kepada Niki.

Niki menerimanya sambil mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk. Berusaha menatap papan tulis putih itu karena pengelihatannya belum kembali sempurna. Setelah beberapa saat menatap papan tulis, Niki menoleh pada Bu Linda lalu bertanya, “Apa boleh saya menjelaskannya dengan cara saya?”

Bu Linda mengangguk cepat, seakan-akan Bu Linda memang tahu kalau Niki akan mampu menjelaskan materi yang tidak dia perhatikan tadi.

Dengan wajah yang tidak meyakinkan. Dia mulai dengan membuka tutup spidol lalu menghapus soal dan jawaban yang di tulis alia.

“Materi ini...,” Niki berfikir sebentar, tampaknya dia sudah mengetahui materi yang di sampaikan Bu Linda dengan melihat soal dan jawaban Ali tadi, “Baik lah akan saya mulai. Tolong di perhatikan teman-teman.”

Bu Linda yang mendengar celetukan Niki, tampak tertawa kecil. Dan saat itu, untuk kesekian kalinya, dan itu adalah pertama kalinya Niki menjelaskan materi, Alia tampak terpesona. Bagaimana Niki menjelaskan dasar dari materi lalu memberikan contoh soal dan menyuruh salah satu teman untuk maju, tentunya dengan persetujuan Bu Linda.

Tidak seperti Bu Linda, Niki memiliki vibe yang menyenangkan dan menenangkan, memberi arahan, koreksi dan menenangkan jika teman-teman menjawab salah pada soalnya. Sampai pada akhirnya, semua materi sudah tersampaikan...

*Prok! Prok! Prok!*

Gemuruh tepuk tangan memenuhi kelas, tak terkecuali Bu Linda yang tersenyum lebar.

“Luar biasa Niki. Kamu seharusnya sudah bisa menjadi guru.”

“Tidak, menjadi guru itu merepotkan,” Kata Niki.

“Baiklah, silakan kembali ke tempat duduk,” Bu Linda mempersilakan.

Niki kembali ketempat duduknya. Alia terpana melihatnya. Dalam langkah Niki kembali ke tempat duduk, saat Alia menatapnya, Niki juga tidak sengaja menatap ke arah Alia. Itu adalah awal pertama tatapan dua insan yang akan memainkan takdir.

***

Di antara dua insan, seorang manusia juga hadir di dunia ini. Keberadaannya tampak kabur, namun ada. Dia lebih cocok menjadi tokoh sampingan yang tidak mencolok. Dia adalah seorang siswa yang satu sekolah yang sama dengan Niki dan Alia. 

Namanya adalah Eben. Dia adalah siswa yang tampak murung, tidak tampan dan tidak jelek-jelek amat. Tidak pandai dan tidak bodoh-bodoh amat. Tidak kaya tapi tidak miskin-miskin amat. Dia adalah sebenar-benarnya NPC di dunia ini. 

Tapi apa yang merubah hal itu? Pertemuannya dengan Niki adalah yang membuat hidupnya berubah.

“Siapa kau?” 

Di suatu hari yang membingungkan bagi Niki, dia di sapa oleh orang yang tampaknya berwajah murung, berkacamata dan tidak tampan. Niki menatap dengan seksama wajah orang yang ada di hadapannya itu. Mengingat. 

“Eben?” Niki menebaknya namanya.

Eben mengangguk. Waktu itu adalah hari pertama kegiatan belajar di sekolah SMA itu setelah Masa Orienatsi Siswa. Eben berfikir untuk mencari teman yang sefrekuensi dengannya. Sefrekuensi dengan dirinya artinya adalah orang yang memiliki aura suram dan suka menyindiri. Mereka mungkin akan cocok, fikir Eben. Tapi Eben langsung dikenali oleh Niki karena justru dia adalah seorang penyendiri.

“Kok bisa tau?” Tanya Eben, sambil memberikan senyuman terbaiknya. Karena biasanya keberadaannya tidak di anggap oleh orang lain.

“Entahlah. Tapi entah kenapa wajahmu mudah di ingat. Mungkin karena aku sering melihatmu sendiri saat MOS. Yah, kau selalu tidak mendapatkan kelompok bukan?”

Eben mengangguk, sedikit malu karena dia tadi tersenyum percaya diri, “Itu saja? Ta-tapi bagaimana kau tau namaku?”

“Bukankah kakak kelas dan kakak panitia sering membentak dan memarahimu karena kau selalu tidak mendapatkan kelompok. Apalagi wajahmu benar-benar memancing orang untuk memukulmu,” Niki mengatakannya tanpa adanya beban.

Eben terhanyut dalam kesakitan luat biasa, dihina langsung di depan wajahnya. Benar-benar pengalaman mengerikan. Karena selama ini dia tidak ingin mencari masalah dengan siapapun. Hubungannya dengan teman sekelasnya hanya lah sekedar rekan belajar di sekolah. Hubungannya dengan guru adalah antara seorang yang mengerjakan tugas dan seseorang yang memberi nilai. Nilai juga pas-pasan.

“Namaku Niki, salam kenal,” Niki menjulurkan tangannya.

Eben terkejut. Dia mengira kalau Niki akan menjadi seorang pembuli karena mulutnya tajam, pedas dan tampak liar. Tapi di akhir kalimat nya lagi, Niki berkata, “Jangan di masukkan di hati, ini adalah caraku mencari teman.”

Eben tersenyum sambil menggaruk kepala. Akhirnya dia mendapatkan seorang teman.

***


Chapter 2

Kilas balik.

Bagaimana aku merasa seperti sedang di awasi oleh seorang gadis yang satu kelas denganku. Entah mengapa, sejak aku di paksa maju oleh bu Linda untuk menjelaskan materi di depan kelas, saat aku sudah menjelaskan dan ingin kembali duduk ke tempatku, saat kedua pandangan kami tidak sengaja bertemu, gadis itu seperti sedang mengawasiku..., dari kejauhan.

Di kantin, saat sedang makan sendiri, tidak sengaja pandanganku melihat gadis itu sedang makan bersama teman-temannya. Satu hal yang mencurigakan darinya adalah saat tatapan kami bertemu dia akan mengalihkan pandangannya seolah-olah tidak ada yang terjadi. 

Aku sangat yakin kalau dia melihatku, fikirku.

Penguntit? Orang mana yang akan percaya gadis yang katanya paling cantik dan kaya raya menguntit diriku. Aku percaya dan mengakui status sosial ku berada di balik bayang-bayang gadis itu.

Siapa nama gadis itu? Alin? Alian? Alien? Ah, Alia. Nama yang bagus. Tapi lebih baik diriku segera pergi dari kantin dan keramaian. Sejujurnya aku tidak suka berada di kantin. Walau aku adalah seorang penyendiri, sepertinya tidak elok kalau aku belum pernah mengunjungi bagian-bagian di sekolah. Apalagi ini adalah sekolah elite, yang mana hanya orang-orang berprestasi dan kaya saja yang bisa masuk.

Aku? Aku hanyalah orang yang beruntung.

Tapi aku mengira, kasus si gadis penguntit akan berakhir hari itu. Hari seterusnya dia masih mengikuti dan mengawasiku. Pertanyaan nya adalah mengapa? 

“Kenapa kau terus mengikutiku?” Tanyaku padanya, di mana saat pulang sekolah dan tidak ada orang di kelas. Aku sengaja menunggu di kelas sampai semua orang pulang. Berusaha menjadi orang terakhir keluar kelas. Mengagetkan bagi diriku, dia masih di kelas.

“Karena dirimu adalah orang yang menarik,” Katanya.

“Jawaban macam apa itu? Yang kau lakukan adalah menguntit dan mengawasiku hampir setiap hari. Sekiranya jika aku memperhatikan, sudah ada 1 bulan dirimu melakukan ini. Dan kau terus datang ke rooftop setelah aku di pukuli 3 berandal itu,” Tanpa rem aku membrondongnya dengan unek-unek yang terpendam lama.

“Aku cuma ingin menyarankanmu untuk melaporkan perbuatan mereka pada guru, aku bisa menjadi saksi,” Alia tersenyum.

Aku menduga 2 kemungkinan, senyumannya ini adalah ekspresi yang polos atau licik. Benar-benar mencurigakan, “Aku tidak mau. Itu hanya akan memburuk keadaan. Apa kau pikir para guru akan menghukum mereka? Meng-score mereka? Atau mengeluarkan mereka dari sekoah?”

“Aku rasa tidak,” Kata Alia, “Para guru hanya lah orang pintar yang memiliki kemampuan mengajar. Sementara orang tua siswa itu adalah seseorang yang memiliki kekuasaan.”

“Tepat sekali,” Aku menghela nafas.

“Tapi bagaimana kalau kamu meminta bantuanku? Ayah ku adalah orang yang membawahi orangtua mereka. Lebih berkuasa,” Kata Alia.

Aku terdiam sejenak, setelah di fikir-fikir memang benar. Orang tua Alia adalah orang yang sangat kaya, donatur terbesar untuk sekolah ini, dan lagi memiliki kekuasaan terbesar di asia tenggara. Tentunya di balik bayangan.

“Tidak. Aku tidak mau. Kenapa kau mamu membantuku sejauh ini? Aku tidak mau bantuanmu,” Aku menolak tawaran yang dia berikan.

“Karena kamu adalah orang yang menarik. Sangat pintar, tapi pertanyaan terbesarku adalah mengapa kamu selalu sendirian? Di kelas, di kantin dan dimana saja. Ada beberapa kali aku melihatmu dengan seorang murid laki-laki berkaca mata, siapa dia?”

“Eben?”

“Yah, aku tidak peduli dengannya. Aku hanya peduli padamu.”

Aku menghela nafas panjang. Ada apa dengan gadis ini? Tanpa bicara sepatah katapun lagi, aku balik kanan dan berjalan keluar kelas. Meninggalkannya di kelas sendirian.

Hari-hari berikutnya dia masih melakukan hal yang sama. Aku membiarkannya selama dia tidak mengganggu rutinatas yang aku lakukan. Pergi sekolah, mengikuti pelajaran, di buli, di pukul, lalu pulang. Memang ada beberapa guru yang mempertanyakan kenapa wajahku sering lebam, jawabanku adalah sama, karena aku mengikuti latihan tinju. Sang guru percaya-percaya saja karena dia sebenarnya tidak pedulu. Mempertanyakan keadaan murid hanyalah sekedar formalitas.

Hari-hari terus berlanjut, hampir setiap hari aku di pukuli di rooftop dan saat selesai gadis itu datang dan menawarkan bantuan. Aku terus menolak, sampai untuk pertama kalinya aku tertidur kelelahan. 

Aku tegaskan sekali lagi, aku tidak pingsan, melainkan hanya tidur. Banyak kerjaan yang aku lakukan sepulang sekolah. Tapi saat itu, sudah tiga bulan sejak gadis itu terus mengamati dan mengikutiku. Memberikan sebuah tawaran untuk membantuku agar keluar dari lingkaran pembulian ini. Pada akhirnya, tidak tahu kenapa, aku tertidur dalam pangkuan si gadis..., yang katanya cantik itu.

***

Mataku perlahan terbuka. Lampu yang menyinari dari langit-langit ruangan benar-benar menyakiti mataku. Rasa kantuk masih menyerangku, rasa ingin tidur kembali memuncak. Tapi aku terus melawan sehingga pada akhirnya aku bisa mengambil posisi duduk di tempat tidur. Setelah mengamati sebentar, bisa ku mengerti sekarang aku sudah di berada di UKS (Unit Kesehatan Sekolah).

Hanya ada aku sendirian di ruangan ini. Tidak ada murid maupun guru. Beberapa tempat tidur tergeletak tanpa penghuni. Kini aku penasaran siapa yang membawa ku dari rooftop ke UKS. Ada kemungkinan Alia yang membawaku kesini. Tapi aku rasa itu tidak mungkin, kekuatan dari seorang gadis manja tidak mungkin menggendongku.

Beberapa saat setelah banyak berfikir tentang siapa yang membawaku ke sini, seseorang mengetuk pintu lalu masuk. Kukira dia adalah guru yang bertanggung jawab di UKS, tapi seorang yang ku kenal melangkah masuk.

“Baguslah kau sudah sadar, Niki,” Eben melangkah cepat setelah melihatku sadar.

“Kenapa kau tidak masuk kelas?” Aku menatap jam yang sudah menunjukkan  pukul 10:30, jam pelajaran ke-5.

“Aku hanya izin ke toilet,” Kata Eben. Dia mengambil kursi lalu duduk di samping ranjangku, “Jerrick jahat sekali memukulmu sampai pingsan. Aku benar-benar panik tadi saat melihat keadaanmu di rooftop.”

“Sudah kuduga, bukan Alia yang membawaku ke sini,” Gumamku.

“Benar, aku yang membawamu kesini,” Eben yang mendengar gumamanku menjelaskan, “Seperti biasa aku menunggu Jerrick turun daru rooftop, saat aku sedang menunggu dan jerrick turun, tak sengaja aku dengar mereka sedang membicarakanmu. Mereka bilang kalau kau akan mati, ku kira kau sudah mati karena di pukuli mereka, jadi aku buru-buru naik ke rooftop. Di sana sudah ada Alia, ku lihat kau sudah tepar di pangkuan Alia.”

“Apa yang Alia bilang?” Tanyaku.

“Alia bilang kau tertidur, tapi aku tidak percaya,” Kata Eben dengan ekspresi nya sangat cemas.

“Tapi Alia memang benar, aku ngantuk lalu tidur,” Koreksi ku pada Eben.

“Kau bohong,” Eben tidak percaya “Wajahmu lebih babak belur dari biasanya dan mulutmu sedikit berdarah. Kau bilang dirimu tertidur?”

“Kau mengira diriku selemah itu. Pukulan mereka tidak membuat ku sakit. Kecuali tendangan di perut yang dilakukan jerrick,” Aku menghela nafas, “Sekarang, dimana Alia?”

“Alia sebenarnya mau menunggumu sampai kau bangun. Tapi Bu Vivi yang bertanggung jawab di UKS tidak mengizinkan karena sudah masuk jam pelajaran.”

Baguslah, setidaknya aku bisa jauh dari gadis itu untuk sementara. Karena masalah ini benar-benar sedikit merepotkan. Aku beranjak dari kasur lalu mengambil dan mengenakan sepatu dan kaos kaki.

“Kau yakin sudah tidak apa-apa? Kulihat masih ada leban di pipimu,” Eben menatapku khawatir.

Aku mengangguk. Luka seperti ini tidak akan menghambatku. Jerrick, Hans dan Limino pasti mengira aku pingsan. Padahal yang aku rasakan adalah hanya rasa kantuk yang menyerang terlalu berlebihan.

“Ayo, kembali ke kelas,” Kataku pada Eben.

“Kemungkinan besar, Pak Erik akan menyuruhmu pulang karena melihat luka lebam yang menyakitkan itu.”

“Itu bagus, aku bisa pulang lebih cepat dan tidur.”

Dan benar saja. Pulang lebih cepat.

Apa yang di katakan Eben adalah kebanaran, walau itu hanya sekedar tebakan. Pak Erik yang melihatku masuk kelas bertanya dengan nada tinggi. Pak Erik adalah tipikal orang yang sangat displin, tidak mungkin aku tidak di tanya saat aku tiba-tiba masuk kelas di tengah dia sedang menjelaskan materi.

“Dari mana kamu Niki?” Tanya Pak Erik saat aku masuk kelas berbarengan dengan Eben.

“Dari UKS Pak,” Kataku.

Lebam di pipi Niki sudah menjelaskan semuanya. Pak Erik menghela nafas lalu kembali bertanya, “Kenapa dengan lebam di pipimu itu?”

“Terjatuh,” Jawabku.

Pak Erik terdiam sesaat. Saat itu pandangannya sekilas memandang ke arah meja Jerrick dan kawan-kawanya. Tersenyum melihatku yang sepertinya sedang di introgasi Pak Erik. Pak Erik menghela nafas.

“Kamu sebaiknya pulang lebih awal Niki, istirahatlah di rumah, kalau perlu ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukamu.”

Aku tersenyum, “Ah, baik pak, terima kasih karena sudah di izinkan pulang lebih awal.”

Tampaknya Pak Erik pun tahu apa yang terjadi. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah seorang guru yang menyampaikan materi kepada murid-muridnya. Jika dia berada di sekolah biasa, mungkin dia akan melawan ketidakadilan atau pun bullying yang terjadi kepada murid-muridnya. Tapi di sekolah elite ini..., bahkan orang-orang terdekat bisa terancam bahaya jika seseorang itu salah langkah.

Aku mengambil tas ku, lalu berjalan keluar kelas. Tampak dari ekspresi wajah Jerrick dan teman-temannya sangat tidak senang. Aku memberi kan sedikit provokasi dengan untaian senyum 1 detik sebelum wajahku hilang melewati pintu.

Dan itu benar-benar sangat memuaskan.

***

Satu hal yang unik dari seorang Niki dari pengamatan Eben. 

Di samping kesukaan Niki yaitu tidur di waktu pelajaran, dia adalah orang yang sangat suka menulis. Niki suka menulis di sebuah buku catatan berwarna hitam. Di kala guru menjelaskan materi dan dia tidak bisa tidur karena guru mengajar dengan suara yang keras, dia akan menulis apapun yang ada di dalam kepalanya.

Buku catatan hitam itu penuh dengan tulisan. Sepertinya dia menulis mengikuti format penulisan di Aplikasi Word. Eben pernah menanyakan hal itu sekali, tentang apa yang dia tulis. Niki hanya tidak ingin memberi tahu tentang apa yang sedang dia tulis. Dia juga berkata kalau dia hanya menulis cerita.

Eben hanya mengangguk, kalimat ke dua yang di ucapkan Niki seperti hanya sebuah pengalihan. Eben benar-benar ingin tahu apa yang sedang di tulis olehnya.

Setelah mengantar Niki ke UKS, Eben kembali ke kelas dengan perasaan cemas dan lelah. Kala itu 5 menit lagi istirahat akan selesai, dia kembali duduk di bangkunya sambil membenamkan wajahnya pada meja. 

Seketika dia teringat tentang Niki. Tentang apa yang sedang dia tulis setiap ada waktu. Eben menatap bangku Niki, tas ransel Niki yang berwarna hitam itu. Eben sangat penasaran. Eben berfikir sejenak. Karena dia sudah membantu Niki kali ini, dirinya merasa berhak atas keingin tahuan itu.

Jangan-jangan apa yang di tulis Niki adalah sebuah diary yang dimana dia memiliki kenangan yang memalukan baginya. Eben tersenyum jahil. Beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke bangku Niki.

Dia membuka tas ransel Niki dan mencari buku itu.

“Buku..., buku catatan hitam..., nah ketemu,” Eben terlihat senang saat melihatnya.

Entah mengapa Eben deg-degan saat ingin membukanya, “Kurasa sekarang aku bisa melihat sisi dari dirimu yang memalukan itu Niki.”

Eben mulai membuka dari tengah halaman itu, karena buku catatan itu hampir penuh.

“Aku menatapnya telanjang di atas kasur dengan kaki dan tangan yang terikat tali di masing-masing tiang kasur. Tidak, jangan melihatku begitu, dasar mahluk hina. Bukankah kau pantas mendapatkannya? Mulut yang tersumpal slotip hitam, serta mata yang menangis mengalir air mata. 

Perlahan aku juga naik ke kasur, lalu mulai menyentuh betisnya, Dia semakin menagis tanpa suara. Entah mengapa, melihat dia menangis ada kepuasan tersendiri. Kurasa aku harus menyentuh bagian-bagian yang lebih sensitive sebelum masuk ke tahap inti.

Kini aku mulai menyentuh...”

Eben berhenti membaca. Dia menutup kembali buku tersebut dan kembali teringat apa yang di katakan oleh Niki, dia hanya menulis cerita.

***


Chapter 3

Perasaan apa ini?

Eben merasakan perasaan yang tidak enak setelah membaca buku catatan Niki. Berbagai pertanyaan muncul di kepalanya. Kenapa Niki menulis itu? Apakah Niki selalu berfantasi seperti itu? Itu yang dia fikirkan setiap kali menulis di buku catatan hitam itu? Eben hanya bisa terdiam sejenak di kelas.

Hari sudah sore, sudah waktunya untuk pulang. Setelah guru mengakhiri kelas, murid-murid lain sudah membereskan buku-buku di mejanya masing-masing. Eben masih terdiam dengan lamunan memikirkan tentang apa yang dia baca. Bahkan saat bertemu Niki di UKS, Eben tidak sanggup mempertanyakan hal itu. Itu sesuatu yang terlalu Vulgar.

“Eben,” Seseorang memanggilnya.

Eben terkejut ketika memalingkan wajah dan mendapati seorang gadis cantik dari kelasnya. Alia, kini dia berdiri 3 langkah darinya. Kenapa dia memanggilku? Padahal kami tidak dekat? Piket kelas pun tidak satu jadwal, Mungkinkah dia suka padaku? Fikiran yang berputar tentang Naki kini beralih kepada gadis itu.

“Kamu teman dekat Niki kan?” Tanya Alia.

Ah, bodohnya aku, fikir Eben. Setelah di pikir-pikir, Alia itu selalu dekat dengan Niki. Walau secara tidak langsung, karena Niki selalu membicarakan seorang gadis penguntit yang selalu mengamati dan mengawasinya. Eben tidak percaya kalau Niki menuduh Alia seorang penguntit, tapi setelah melihatnya sendiri kini Eben tidak bisa berkata apa-apa.

Ini adalah pertama kalinya mereka bicara sebagai teman sekelas, “Iya, kenapa?”

“Bolehkah kamu memberikan alamat rumah Niki?” Tanya Alia sambil tersenyum.

Oh tuhan, gadis ini memang cantik dan semanis itu. Tidak heran jika satu sekolah mendambakannya. Tapi fikiran Eben kembali teringat kalau Alia itu adalah seorang penguntit Niki.

“Tidak,” Kata Eben, “Aku sendiri tidak tahu. Kalaupun aku tahu, tidak mungkin aku memberi tahu pada penguntit sepertimu.”

Alia tertawa, dia mendekatkan wajahnya pada Eben, “Owh, berarti Niki sudah memberi tahu soal diriku. Apa yang dia katakan?”

Eben menelan ludah, Alia ini sepertinya sengaja menggunakan teknik ini untuk membuat Eben gugup, “Di-dia bilang kalau kau itu selalu me-mengamati dan me-mengawasinya. Bukankah itu yang di lakukan penguntit? Kenapa k-kau melakukan itu?”

Tampaknya cara Alia benar-benar membuat Eben tertekan dan salah tingkah, “Aku hanya tertarik padanya.”

“Tertarik? Apa yang menarik darinya?”

Eben sama sekali tidak mengerti. Niki memanglah pintar tapi selebih itu sama seperti Eben. Tampak pemalas, memiliki wajah kusut, tampak miskin walau realita nya Niki masuk sekolah ini karena Hoki dan mungkin beasiswa. Niki adalah seorang penyendiri yang tampaknya hanya memiliki teman seorang Eben.

“Entahlah, tapi dia menarik bagiku,” Kata Alia, “Ayolah, kamu mau memberikan alamat rumahnya padaku?”

“Sudah kubilang bukan? Aku sendiri tidak tahu. Kalaupun aku tahu, aku tidak akan memberitahukannya padamu.”

“Hahaha, baiklah,” Alia balik kanan, berjalan meninggalakan Eben, “Kalau begitu biar aku cari tahu. Aku tidak mau menggunakan cara ini, tapi sepertinya tidak punya pilihan.”

Obsesi. Itu adalah yang terlintas di dalam kepala Eben saat mendengar kalimat terakhir dari Alia. Menurutnya, ketika seseorang telah terobsesi pada sesuatu, orang itu akan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Juga sama seperti komik-komik yang sudah dia baca, seorang gila terobsesi pada orang yang dia cintai, orang itu melakukan apapun demi mendapatkan orang yang dia cintai, termasuk membunuh.

Alia adalah anak dari seseorang yang sangat kaya dan berkuasa di asia tenggara ini. Dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Bahkan membunuh orang terdekat Niki, seperti teman perempuannnya ataupun tante-tante pinggir jalan yang menggoda Niki. Mereka semua bisa tewas.

“Tidak. Kau tidak boleh melakukan itu,” Eben segera mengejar Alia, lalu menjejerinya sambil berjalan keluar gedung sekolah.

“Memangnya kau pikir apa yang akan kulakukan?” Tanya Alia tidak mengerti.

“Kau pasti akan melakukan yang di lakukan oleh orang yang kaya dan berkuasa, bukan?” Tuduh Eben, wajahnya terlihat sedikit panik dan berkeringat. Takut adalah ekspresi yang tepat.

“Maksudmu?” Alia semakin tidak mengerti.

“Maksudku...,” Eben takut untuk menjelaskannya. Walau keluarganya adalah orang kaya juga, tapi tidak sekaya dan sekuasa keluarga Alia. Keluarganya tidak akan bisa melindunginya, tapi Eben harus mencegahnya, “Kamu pasti akan membayar seseorang untuk menguntit Niki, dan jika ada yang menggoda Niki atau mengganggunya, maka orang itu pasti akan hilang. Benarkan kamu mau melakukan itu?” 

Mendengar perkataan Eben, Alia mengerutkan dahinya lalu menggeleng, “Kenapa aku harus melakukan hal jahat seperti itu?”

“Eh,” Eben tidak mengerti, “Bukankah itu yang di lakukan orang kaya?”

“Tidak. Kata siapa?”

Alia berjalan sedikit cepat ke gerbang sekolah, Eben berusaha menjejerinya. 

Seperti yang sudah di ketahui oleh murid-murid atau guru-guru yang mengajar di sekolah itu, seseorang seperti Alia adalah orang yang penting dan sangat di hormati. Maka dari itu tidak heran kalau orang tua Alia akan memberikan pengawalan di sekolah. Dua orang berjas hitam sedang menunggu di depan gerbang,  begitu melihat Alia salah satu dari keduanya bergegas membukakan pintu.

“Kau benar-benar orang yang kaya,” Kata Eben.

“Begitu juga denganmu, Eben.”

“Pujian dari mu seperti sebuah ejekan,” Eben menghela nafas, “Jangan bertindak yang aneh-aneh Alia.”

Alia masuk ke mobil dan menutup pintunya. Dan mobil pun bergerak meninggalkan sekolah.

***

Niki adalah orang yang abnormal.

Bukan hanya kecerdasannya, tapi juga fisiknya. Bagaiman seorang murid 15 tahun sanggup menahan dosis bius yang tinggi begitu lama? Dan bahkan efeknya benar-benar sangat cepat menghilang. Alia termenung memikirkan hal tersebut. Dalam perjalanan pulang yang dia fikirkan hanyalah Niki.

Niki dipukuli setiap hari oleh 3 orang pembully yaitu Jerrick, Hans dan Limino. Sejak dia pertama kali dipukuli oleh ketiganya, Niki tidak pernah pingsan. Tapi hari ini Niki pingsan (Niki mempertegas kalau dia hanya tertidur) setelah dipukuli Jerrick. Pertanyaanya Apa? Siapa? Kenapa? Dimana? Dan Bagaimana?

Apa yang membuat Niki pingsan? Jawabannya adalah sebuah obat bius. Siapa yang melakukannya? Jawabannya Adalah Alia. Kenapa dia melakukannya? Karena Alia tertarik pada Niki dan berusaha untuk menculik Niki dengan cara membuatnya pingsan sehingga dia di bawa ke UKS, lantas kedua pengawalnya lah yang akan bekerja. Dimana dia melakukannya? Di kelas, saat Niki izin ke toilet di jam pelajaran pertama. Bagaimana dia melakukannya? Dia mencampur obat tetes bius ke dalam botol minuman Niki.

Sebuah rencana yang sempurna seandainya efek obat tersebut bereaksi lebih cepat dan bertahan lebih lama. Tapi kini Alia merasa sedikit kesal karena rencananya tidak berhasil. Dia pulang dengan tangan kosong.

Alia menghela nafas. Mobil sudah masuk gerbang rumahnya yang besar. Melewati taman-taman yang indah nan asri. Terdapat air mancur yang di tengah nya terdapat patung anak kecil memainkan sebuah panah mainan. 

Saat sudah sampai Alia langsung keluar dari mobil, mengabaikan sapaan pelayan rumah. Pergi ke kamarnya yang berada di lantai 2. Tempatnya yang paling istimewa untuk menyendiri dan memikirkan berbagai hal. Kamarnya luas. Seperti sebuah kamar seorang putri di abad pertengahan. Bisa di bayangkan beberapa prabotan yang terbuat dari emas. Dengan hiasan-hiasan mewah yang sangat mahal.

Alia berjalan ke meja riasnya, lalu duduk. Memandangi dirinya dalam diam, lalu memuji kecantikannya dalam hati. Dia menutup matanya, membayangkan seorang Niki. Mempertanyakan kenapa dia bisa sangat terpikat pada Niki. 

Siapa Niki? Kenapa harus Niki? 

Jika Alia bertanya pada orang-orang, maka mereka akan menjawab kalau itu adalah cinta.

Alia tersenyum, ini adalah cinta.

Alia perlahan membuka matanya.

Tetapi, menatap ke arah cermin, yang dia dapati bukan hanya dirinya.

Orang itu membekap Alia.

***


Chapter 4 

Izinkan aku menceritakannya padamu.

“Kau! Kau pasti pembunuh putriku,” Teriakan itu memenuhi ruang guru. Atsmosfir yang tadinya tegang, kini meledak saat salah satu dari dua orang polisi memberikan keterangan. Seorang ibu-ibu mengarahkan telunjuknya padaku dengan wajah merah dan air mata mengalir di pipinya.

“Tolong tenang bu, ini hanyalah sebuah alibi,” Pak Polisi berkumis tebal menenangkan, “Masih perlu di selediki lebih lanjut untuk memberikan status pada Nak Niki.”

Aku hanya memasang wajah datar. Di sebelahku, pak kepala sekolah menghela nafas panjang. Menatap ke arahku dan memegang pundakku. Seakan-akan tahu kalau aku adalah korban di sini.

“Aku yakin pasti anak itu! Aku tidak mau tau! Hukum anak itu, atau ku bunuh dia di sini,” Ibu itu ingin memukulku tapi segera di tahan oleh suaminya.

“Sabar, sabar ma,” Suaminya segera menarik istrinya itu lalu memeluknya dengan erat. Ibu-ibu itu menangis histeris dalam pelukannya.

Bagaimana semua ini bisa terjadi? Ya, semua ini bermula setelah di temukannya tubuh gadis yang telanjang di kelas 7-B, yaitu kelas ku sendiri. Siapa gadis itu? Gadis itu bernama Lidya. Dia adalah siswi yang satu kelas denganku. 

Dia adalah gadis cantik di kelas kami. Orang tuanya paling kaya dan memiliki kekuasaan juga di sekolah ini. Dia adalah tipe manja dan bermuka dua kepada guru. Walaupun para guru memang sudah tahu kelakuan dia yang sebenarnya. Tidak ada yang berani menegurnya karena orang tuanya memiliki kaki tangan preman di sekitar sekolah. Siapa yang tidak menurutinya, maka berhati-hatilah jika berjalan saat pulang sekolah.

Lebih menyedihkannya lagi, beberapa guru memberi kemudahan kepada Lidya berupa nilai dan akses bolos sekolah agar guru-guru tersebut mendapatkan hadiah dari orang tua Lidya. 

Lidya adalah seorang iblis berwujud manusia. Dia adalah orang yang tidak pantas hidup di dunia ini. Kekuasaaan yang dia miliki, menindas siswa-siswi yang sedang menuntut ilmu di sekolah ini. Pernah ada seorang gadis kelas sebelah yang berpacaran dengan siswa berprestasi, tampan dan jago di bidang olahraga, laki-laki itu adalah primadona di sekolah, begitu pula di gadis itu. Gadis itu lebih cantik dari Lidya. Mereka berdua adalah dua pasangan paling cocok di kala itu.

Sebagaimana yang aku katakan tadi, Lidya adalah iblis berwujud manusia. Iri dengki adalah sifatnya. Apapun yang dia tidak suka, harus musnah, menghilang ataupun menderita.

Di suatu pagi, gadis itu di temukan telanjang dan tak bernyawa di sebuah gang dekat sekolah. Dia di perkosa lalu di bunuh.

Akhirnya mudah di tebak, Lidya senang dan pada akhirnya berpacaran dengan siswa berprestasi itu. Aku tahu itu adalah perbuatan Lidya. Bisa ku tebak dan ku pastikan kalau Lidya menyewa preman di daerah sekolah untuk menculik gadis itu, memperkosanya lalu membunuhnya.

Aku hanya mengamati. Tidak peduli dengan apa yang terjadi, walau itu menjadi sebuah berita yang gempar.

Tapi ada satu kesalahan Lidya, dia mengusik seseorang yang seharusnya tidak dia usik.

Seseorang siswa yang pendiam dan penyendiri seperti diriku ini adalah sesuatu yang tidak menarik bagi orang normal, tapi tidak bagi Lidya. Dia melihatku sebagai bahan, samsak, dan percobaan.

Dia mulai membullyku. Mulai dari hal-hal kecil seperti mencoret-coret bangku dan kursi kayu ku yang bisa dibilang paling bersih dari coretan tip-x. Tulisan makian, hinaan, bahkan kecaman terhadap orang tua. Lalu mulai buku-buku pelajaranku menghilang, dan aku tentunya sudah menduganya.

Tingkat paling parah dari pembuliannya terhadapku adalah, aku di seret ke sebuah kelas kosong bersama dengan teman-teman laki-lakinya. Di sana aku di telanjangi dan di pukuli. Mereka tertawa, meludahiku, lalu kembali memukuliku. Di sela-sela itu, aku mendengar Lidya berkata sesuatu yang membangkitkan monster di dalam diriku.

“Dasar anak haram, aku yakin ibumu adalah orang bisu dan seorang pelacur yang melahirkan pendiam sepertimu.”

Itu adalah sebuah kesalah besar,bukan?

Seketika itu, teringat bagaimana masa kecilku. Sedikit memori tentang ibu melintas di kepalaku.

“Aku adalah korban di sini,” Di ruang guru, kukatakan pada ibu nya tanpa ragu, “Aku adalah orang yang dia bully, banyak juga siswa-siswi yang di bully oleh anakmu. Jika aku memiliki motif untuk membunuhnya, tentu saja bukan hanya aku yang ingin melakukannya. Kau menuduh aku adalah  pembunuh putrimu, maka buktikanlah kalau aku bersalah, bahkan ku yakin sudah menyelidiki kasus ini dengan sangat professional. Seharusnya mereka langsung membawaku begitu yakin jika aku adalah pelaku, bukan memberikan keterangan alibiku.”

Ibu itu tidak berbicara, masih memeluk suaminya dengan tangis yang semakin mengeras.

Kedua polisi itu saling tatap. Mungkin mereka heran denganku. Dari mana kepercayaan diri itu datang.

Aku sendiri tidak tau. Mungkin itu adalah bakat.

Tapi satu hal yang menarik adalah kenyataannya, memang aku yang membunuhnya.

Hahaha, aku yang menculiknya dari rumah, membawanya ke sekolah, lalu memperkosanya di ruang UKS, di tengah gelapnya malam. Kepuasanku adalah saat aku melihat detik-detik terakhir nafasnya ketika aku mencekik lehernya. Terakhir, aku menyeret mayatnya ke kelas ku, sebagai tanda berakhirnya hidup Lidya.

Ah..., perasaan lega apa ini?

Terasa menyenangkan, apalagi untuk siswa kelas 7 yang pertama kali merasakan bersetubuh.

Aku menatapnya telanjang di atas kasur dengan kaki dan tangan yang terikat tali di masing-masing tiang kasur. Tidak, jangan melihatku begitu, dasar mahluk hina. Bukankah kau pantas mendapatkannya? Mulut yang tersumpal slotip hitam, serta mata yang menangis mengalir air mata. 

Perlahan aku juga naik ke kasur, lalu mulai menyentuh betisnya, Dia semakin menagis tanpa suara. Entah mengapa, melihat dia menangis ada kepuasan tersendiri. Kurasa aku harus menyentuh bagian-bagian yang lebih sensitive sebelum masuk ke tahap inti.

Kini aku mulai menyentuh bagian pahanya, sampai akhirnya aku menyentuh bagian intim dari kewanitaannya. 

Di sanalah kenikmatan itu berada,

Dan di sanalah aku merasakannya.

Lidya, semoga tenang dan berbagialah di alam neraka.

“Bukankah itu cerita yang bagus, Alia?” Ku tatap Alia sambil tersenyum.

Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa dengan tangan dan kaki terikat pada ujung tiang kasur. Alia..., dia sama telanjang seperti Lidya. Tapi rupa Alia adalah malaikat menjelma manusia. 

Aku menutup buku catatan hitam itu, lalu berkata, “Aku akan menikmati ini Alia.”

***


By : Saykou

Instagram : @Saykoutm

Youtube : Syahputra Ramdani

Dukung sang Author untuk membuat karya-karya terbaru...

http://h5.mangatoon.mobi/contents/detail?id=2028945&_language=id&_app_id=2


Publish : Fabyo

@byocog


Tambahan : Jika ada perubahan tentang char diatas, segera konfirmasi langsung ke COG COMMUNITY

Link COG COMMUNITY :

https://linktr.ee/byocog

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama